Penegakan hukum
adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Proses penegakan hukum pidana dilakukan oleh suatu sistem yaitu yang
disebut dengan Sistem Peradilan Pidana yaitu mekanisme kerja dalam usaha
penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.
Sistem penanggulangan kejahatan itu dilakukan oleh komponen-komponen
yang saling bekerjasama, yaitu instansi atau badan yang kita kenal
dengan nama kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan.
Masing-masing
komponen atau sub system mempunyai tugas dan output sendiri-sendiri
sesuai dengan funsi dan wewenangnya masing-masing. Kepolisian bertugas
melakukan penyidikan dan akan menghasilkan suatu out-put yang disebut
dengan berita acara pemeriksaan (BAP). Kejaksaan berdasarkan BAP dari
Kepolisian bertugas melakukan penuntutan dengan suatu surat dakwaan dan
selanjutnya Pengadilan berdasarkan surat dakwaan dari Kejaksaan akan
mengadili perkara kemudian menjatuhkan putusan. Lembaga Pemasyarakatan
bertugas melakukan pembinaan terhadap nara pidana agar dapat kembali
menjadi orang baik dalam masyarakat.
Pelaksanaan penegakan
hukum pidana yang sangat menarik perhatian publik saat sekarang adalah
mengadili perkara dan penjatuhan putusan oleh Pengadilan. Putusan yang
dijatuhkan Pengadilan kadang-kadang dianggap masyarakat jauh dari rasa
keadilan. Bahkan tidak jarang setelah putusan diucapkan, masyarakat
mencari-cari kesalahan materi putusan/pertimbangan putusan atau legal reasoning
dari putusan tersebut. Ada juga pihak-pihak yang berperkara yang tidak
setuju dengan bunyi putusan minta supaya hakim yang memutus perkara
dilaporkan ke Komisi Yudisial karena kesalahan dalam proses pelaksanaan
persidangan dan dalam memutus perkara. Kesalahan tersebut sebenarnya
menurut ketentuan hukum acara, bagi pihak yang tidak menerima putusan
karena dirasa tidak adil, dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan
yang lebih tinggi seperti banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke
Mahkamah Agung.
Sesungguhnya
pengambilan putusan dalam perkara pidana di Pengadilan dilakukan oleh
hakim yang independen melalui suatu proses persidangan. Proses tersebut
ikut andil dalam menentukan bagaimana putusan yang akan dijatuhkan.
Sebaliknya putusan yang dirasakan adil oleh masyarakat sangat tergantung
juga dari proses persidangan yang adil, taransparan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam makalah ini
penulis akan membahas bagaimana peran kemandirian pengadilan dalam
penegakan hukum dan keadilan serta bagaimana proses perkara pidana
dilakukan, mulai disidangkannya suatu perkara sampai putusan diucapkan
yang diharapkan putusan tersebut mengandung nilai-nilai keadilan yang
didambakan masyarakat pencari keadilan (yustisiabelen).
Kemandirian Hakim Pengadilan
Di dalam suatu negara hukum, kekuasaan kehakiman (yudikatif)
merupakan badan yang sangat menentukan terhadap substansi dan kekuatan
kaidah-kaidah hukum positif termasuk hukum pidana. Karena melalui badan
inilah konkritisasi hukum positif dilakukan oleh hakim pada
putusan-putusannya di depan pengadilan. Dengan ungkapan lain dapat
dikatakan, bahwa bagaimanapun baiknya segala peraturan hukum pidana yang
diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha penanggulangan kejahatan,
akan tetapi peraturan-peraturan itu tidak ada artinya apabila tidak ada
kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh hakim yang mempunyai kewenangan
untuk memberi isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum pidana tersebut.
Disini tampaklah
bahwa pengadilan/hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman merupakan
tumpuan dari segala lapisan masyarakat pencari keadilan (yustisiabelen)
untuk mendapat keadilan serta menyelesaikan persoalan-persoalan tentang
hak dan kewajibannya masing-masing menurut hukum. Oleh karenanya
dapatlah dimaklumi akan adanya dan terselenggaranya peradilan yang baik,
teratur serta memenuhi rasa keadilan masyarakat. Penyelenggaraan
peradilan itu dilakukan oleh kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
pengadilan/hakim yang bebas, guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila.
Iskandar Kamil memberikan pendapat mengenai tugas hakim itu sebagai berikut:
Tugas
hakim adalah sebagai pelaksana Kekuaasaan Kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada
dasarnya adalah mengadili. Kata mengadili merupakan rumusan yang
sederhana, namun di dalamnya terkandung pengertian yang sangat mendasar,
luas dan mulia, yaitu meninjau dan menetapkan sesuatu hal secara adil
atau meberikan keadilan. Pemberian keadilan tersebut harus dilakukan
secara bebas dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tugas hakim
tersebut, penyelenggaraan peradilan harus bersifat teknis profesional
dan non politis serta non partisan. Peradilan dilakukan sesuai standar
profesi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa
pertimbangan-pertimbangan politis dan pengaruh kepentingan pihak-pihak.
[1]
Dari uraian dan
pandangan diatas maka penegakan hukum dan keadilan inilah yang menjadi
dasar filosofi dari kemandirian hakim ini. Mengingat dasar filosofi
untuk menegakkan hukum dan keadilan inilah, maka kepada hakim perlu
diberi kebebasan dari pengaruh kekuasaan ektra judisial dalam
melaksanakan fungsi dan kewenangan kekuaaan kehakiman. Akan tetapi
kebebasan itu harus disadari hanya merupakan kebebasan yang diberikan
undang-undang atau hukum (legal right) bukan kebebasan yang bersifat alami (natural right). Oleh karena itu Ketua Mahkamah Agung dalam keynote speech mengatakan, bahwa kebebasan hakim itu hanya terbatas pada:
- 1.Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya.
- 2.Bebas dari paksaan siapapun,
- 3.Bebas dari direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ektra yudisial.[2]
Sebagai landasan
filosofi dari kebebasan hakim, keadilan itu sendiri mempunyai makna yang
begitu kaya, sehingga selalu menimbulkan perbedaan dan petentangan
dalam menafsirkannya. Walaupun demikian kiranya diusahakan suatu
pemahaman yang pokok dan mendasar sehingga dapat disepakati oleh banyak
pihak bahwa keadilan itu menjadi tujuan yang hendak dicapai dari
kemandirian hakim dalam melaksanakan persidangan.
Plato menegaskan bahwa makna pokok dari keadilan adalah kemampuan memperlakukan setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing.
[3]
Pemahaman ini diteruskan sepanjang sejarah kebudayaan Barat melalui
Aristoteles, Cicero, Agustinus dan terutama oleh sistem hukum Romawi
yang masih punya pengaruh kuat sampai dewasa ini. Meskipun pemahaman
keadilan cukup singkat dan jelas tetapi dalam pelaksanaannya sering
timbul kesukaran praktis, karena masih dipertanyakan sejauh mana hak
orang itu. Manakah hak orang itu dan dari mana datangnya hak itu. Tanpa
memberikan kejelasan seperti itu tindakan yang dimaksudkan sebagai
pemberian keadilan, ternyata malah merupakan ketidak adilan.
Oleh karenanya
kemudian dikatakan keutamaan keadilan terwujud pada tindakan-tindakan
kepada orang lain, yakni orang yang memiliki hak atas perlakuan itu. Hal
itu antara lain ditegaskan oleh Thomas Aquinas dengan rumusan “keadilan
adalah untuk orang lain”.
[4]
Perlakuan yang adil dilaksanakan bukan karena kasih sayang, hubungan
perasaudaraan atau perasahabatan dan sebagainya, melainkan kerena
pengakuan atas hak orang lain.
Pengertian keadilan
ini pada perode akhir-akhir ini banyak ditinjau dari berbagai sudut
pandang. Ada yang melihat dari segi keadilan legal (legal justice)
yaitu keadilan yang sesuai dengan hukum. Pandangan ini dapat dilihat
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dari putusan hakim
pengadilan yang mencerminkan keadilan hukum negara dalam bentuk formal.
Akan tetapi adil tidaknya suatu peraturan perundang-undangan atau
putusan hakim sangat pula ditentukan oleh representasi keadilan moral (moral justice) dan keadilan sosial (social justice), sebagai dua sudut pandang yang lain melihat keadilan itu sendiri.
Keadilan moral (moral justice)
tidak lain dari keadilan yang berdasarkan moralitas yang berbicara
tentang baik dan buruk. Moralitas berasal dari berbagai sumber, yang
terpenting disini adalah agama. Agamalah yang menetapkan tentang
norma-norma baik dan buruk, benar dan salah, adil dan tidak adil.
Perundang-undangan Indonesia sangat mendukung keadilan hukum yang
berdasarkan keadilan moral agama. Ini terlihat secara umum dari pasal 2
ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan: Peradilan dilakukan “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Setiap putusan hakim
harus memuat kata-kata tersebut sebagai kepala putusannya. Putusan hakim
yang tidak memuat kata-kata tersebut diatas diancam batal demi hukum.
Keadilan sosial (social justice)
adalah menjadi salah satu dasar negara, sebagai sila kelima dari
Pancasila yang berbunyi: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa selain melindungi segenap
bangsa dan tanah air Indonesia, Pemerintah Indonesia juga ingin
berpartisipasi melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ada pula pendapat yang mengelompokkan keadilan legal (legal justice) kedalam dua kategori yaitu aspek substanstif dan prosedural. Pendapat ini dikemukakan oleh Majid Khadduri sebagai berikut:
Syariat
tidak memberikan ukuran khusus untuk membedakan antara
perbuatan-perbuatan yang adil dan zalim. Oleh karena itu ia berpindah
kepada pakar-pakar
(mujtahid) untuk mengindikasikan
prinsip-prinsip pokok dari keadilan yang berfungsi sebagai garis-garis
pedoman untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan yang adil dan zalim.
Walaupun prinsip-prinsip ini tidak dibawa bersama dan dikorelasikan
kedalam suatu teori koheren tentang keadilan legal, tetapi mereka boleh
dikelompokkan kedalam dua kategori, masing-masing meliputi suatu aspek
dari keadilan yang berbeda. Aspek-aspek ini boleh kita namakan aspek
substantif dan prosedural, dan makna keadilan dalam setiap aspek
bervariasi dari satu hingga lainnya.
[5]
Selanjutnya Majid
Khadduri mengatakan, bahwa keadilan substantif merupakan suatu aspek
internal dari suatu hukum dan elemen-elemen keadilan yang terkandung
dalam suatu hukum merupakan deklarasi tentang kebenaran-kebenaran dan
kesalahan-kesalahan. Dalam kosa kata Islam, ini kita namakan halal dan
haram
(al-halal wa al-haram) dan membentuk beberapa kaidah umum dan khusus dalam Syariat Islam
(Islamic corpus juris).
[6]
Sedangkan keadilan prosedural adalah aspek eksternal dari syariat yang
berdasar atasnya, keadilan substantif dicapai. Aspek keadilan ini yang
sering disebut keadilan formal, dimanifestasikan pada tingkatan
regularitas, ketelitian dan netral dalam penerapan (
aplikasi) Syariat.
[7]
Berkaitan dengan
pengelompokan keadilan legal di atas, maka putusan Pengadilan yang
diambil hakim secara normatif mengandung dua aspek yaitu
prosedural justice dan
substantive justice. Dalam kaitan ini Mudzakkir mengatakan bahwa
prosedural justice hubungannya dengan hukum acara dan hukum pembuktian, sedangkan
subtantive justice berkaitan dengan diktum putusan atau pemidanaan (dalam perkara pidana).
[8]
Hukum acara dan hukum pembuktian bersifat obyektif dengan parameter
aturan hukum acara dan hukum pembuktian yang konkrit dengan standar yang
tegas. Proses pembuktian ini biasanya memerlukan ilmu pengetahuan yang
obyektif dan oleh karenanya, hasil proses pembuktian dapat diuji secara
ilmiyah (obyektif) oleh siapa saja. Sedangkan untuk
substantive justice tidak memiliki ukuran yang seobyektif
procedural justice, karena suatu diktum atau amar putusan adalah suatu kesimpulan dari kegiatan penafsiran terhadap kaedah hukum
(in abstrakto) yang dilakukan oleh hakim terhadap fakta-fakta hukum yang telah diuji di Pengadilan
(in concretto).
Penafsiran terhadap
kaedah hukum ditujukan untuk mencapai tujuan hukum yaitu terciptanya
keadilan dalam masyarakat. Tuntutan keadilan yang diajukan masyarakat
agar penerapan hukum sesuai dengan apa yang dianggap adil oleh
masyarakat dalam setiap kasus pidana di depan hakim. Ini biasanya
terkait dengan situasi konkrit dan kondisi sosial setempat. Masyarakat
tidak akan menilai menurut prinsip-prinsip abstrak sebagai dirumuskan
hukum, melainkan menurut apa yang dalam situasi konkrit terasa adil.
Jadi tuntutan keadilan disini agar hakim mempunyai kebebasan penuh untuk
memperhatikan semua unsur konkrit dalam kasus yang dihadapi.
Dilain pihak
kepastian hukum selalu menuntut agar hukum dirumuskan secara sempit dan
ketat agar tidak terjadi kekaburan sedikitpun. Akan tetapi semakin
sempit dan terperinci perumusan hukum, maka hakim itu makin kaku dan
makin sempit pula ruang kebebasannya. Sehingga mungkin saja suatu
putusan hakim sesuai dengan norma-norma hukum, tapi tidak sesuai dengan
keadilan menurut pandangan masyarakat. Dalam kondisi dan situasi
demikian hakim hendaklah membebaskan diri pengaruh tekanan baik yang
datang dari pemerintah, maupun pejabat pembuat undang - undang serta
pada rasa keadilan yang dirumuskan waktu itu, yaitu apa yang dirasakan
adil menurut perasaan keadilan hakim itu sendiri.
Tahapan dan Proses Persidangan
Sebelum
Pengadilan/Hakim sampai kepada pengambilan putusan dalam setiap perkara
pidana yang ditanganinya, terlebih dahulu melalui proses pemeriksaan
persidangan yang merupakan tahap-tahap dalam pemeriksaan itu. Tanpa
melalalui proses pemeriksaan persidangan ini hakim tidak akan dapat
mengambil putusan dalam perkara pidana yang ditanganinya, karena hanya
dengan melalui proses inilah akan didapatkan peristiwa konkrit yang
dilakukan terdakwa. Melalui proses persidangan ini pula semua pihak,
baik jaksa penuntut umum maupun terdakwa / penasehat hukum diberi
kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapatnya serta menilai hasil
pemeriksaan persidangan menurut perspektifnya masing-masing. Pada akhir
dari proses pemeriksaan persidangan hakim akan mengambil putusan. Proses
persidangan ini merupakan salah satu aspek yuridis formil yang harus
dilakukan hakim untuk dapat mengambil putusan dalam perkara pidana.
Proses pemeriksaan
persidangan perkara pidana di Pengadilan yang dilakukan oleh hakim
secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
disingkat dengan sebutan KUHAP ( Undang-undang No. 8 tahun 1981 ) dan
beberapa peraturan pelaksanaan lainnya, seperti PP No. 27 tahun 1983
tentang pelaksanaan KUHAP dan Peraturan Menteri Kehakiman RI No.
M.06.UM.01.06 tahun 1983 tentang Tata Tertip dan Tata Ruang Sidang.
Disamping itu dalam praktek seringkali pelaksanaan tahap-tahap dan tata
cara persidangan disesuaikan dengan keadaan berdasarkan kebijakan hakim /
ketua majelis hakim atau atas kesepakatan antara pihak-pihak yang
terkait dalam pemeriksaan perkara pidana, sejauh tidak menyimpang dari
asas dan tujuan pemeriksaan perkara pidana.