Senin, 26 November 2012

PERAN PENGADILAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Proses penegakan hukum pidana dilakukan oleh suatu sistem yaitu yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana yaitu mekanisme kerja dalam usaha penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Sistem penanggulangan kejahatan itu dilakukan oleh komponen-komponen yang saling bekerjasama, yaitu instansi atau badan yang kita kenal dengan nama kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Masing-masing komponen atau sub system mempunyai tugas dan output sendiri-sendiri sesuai dengan funsi dan wewenangnya masing-masing. Kepolisian bertugas melakukan penyidikan dan akan menghasilkan suatu out-put yang disebut dengan berita acara pemeriksaan (BAP). Kejaksaan berdasarkan BAP dari Kepolisian bertugas melakukan penuntutan dengan suatu surat dakwaan dan selanjutnya Pengadilan berdasarkan surat dakwaan dari Kejaksaan akan mengadili perkara kemudian menjatuhkan putusan. Lembaga Pemasyarakatan bertugas melakukan pembinaan terhadap nara pidana agar dapat kembali menjadi orang baik dalam masyarakat.
Pelaksanaan penegakan hukum pidana yang sangat menarik perhatian publik saat sekarang adalah mengadili perkara dan penjatuhan putusan   oleh Pengadilan. Putusan yang dijatuhkan Pengadilan kadang-kadang dianggap masyarakat jauh dari rasa keadilan. Bahkan tidak jarang setelah putusan diucapkan, masyarakat mencari-cari kesalahan materi putusan/pertimbangan putusan atau legal reasoning dari putusan tersebut. Ada juga pihak-pihak yang berperkara yang tidak setuju dengan bunyi putusan minta supaya hakim yang memutus perkara dilaporkan ke Komisi Yudisial karena kesalahan dalam proses pelaksanaan persidangan dan dalam memutus perkara. Kesalahan tersebut sebenarnya menurut ketentuan hukum acara, bagi pihak yang tidak menerima putusan karena dirasa tidak adil, dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan yang lebih tinggi seperti banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung.
Sesungguhnya pengambilan putusan dalam perkara pidana di Pengadilan dilakukan oleh hakim yang independen melalui suatu proses persidangan. Proses tersebut ikut andil dalam menentukan bagaimana putusan yang akan dijatuhkan. Sebaliknya putusan yang dirasakan adil oleh masyarakat sangat tergantung juga dari proses persidangan yang adil, taransparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam makalah ini penulis akan membahas bagaimana peran kemandirian pengadilan dalam penegakan hukum dan keadilan serta bagaimana proses perkara pidana dilakukan, mulai disidangkannya suatu perkara sampai putusan diucapkan yang diharapkan putusan tersebut mengandung nilai-nilai keadilan yang didambakan masyarakat pencari keadilan (yustisiabelen).
Kemandirian Hakim Pengadilan
Di dalam suatu negara hukum, kekuasaan kehakiman (yudikatif) merupakan badan yang sangat menentukan terhadap substansi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif termasuk hukum pidana. Karena melalui badan inilah konkritisasi hukum positif dilakukan oleh hakim pada putusan-putusannya di depan pengadilan. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa bagaimanapun baiknya segala peraturan hukum pidana yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha penanggulangan kejahatan, akan tetapi peraturan-peraturan itu tidak ada artinya apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh hakim yang mempunyai kewenangan untuk memberi isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum pidana tersebut.
Disini tampaklah bahwa pengadilan/hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman merupakan tumpuan dari segala lapisan masyarakat pencari keadilan (yustisiabelen) untuk mendapat keadilan serta menyelesaikan persoalan-persoalan tentang hak dan kewajibannya masing-masing menurut hukum. Oleh karenanya dapatlah dimaklumi akan adanya dan terselenggaranya peradilan yang baik, teratur serta memenuhi rasa keadilan masyarakat. Penyelenggaraan peradilan itu dilakukan oleh kekuasaan kehakiman yang merdeka dan pengadilan/hakim yang bebas, guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Iskandar Kamil memberikan pendapat mengenai tugas hakim itu sebagai berikut:
Tugas hakim adalah sebagai pelaksana Kekuaasaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada dasarnya adalah mengadili. Kata mengadili merupakan rumusan yang sederhana, namun di dalamnya terkandung pengertian yang sangat mendasar, luas dan mulia, yaitu meninjau dan menetapkan sesuatu hal secara adil atau meberikan keadilan. Pemberian keadilan tersebut harus dilakukan secara bebas dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tugas hakim tersebut, penyelenggaraan peradilan harus bersifat teknis profesional dan non politis serta non partisan. Peradilan dilakukan sesuai standar profesi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa pertimbangan-pertimbangan politis dan pengaruh kepentingan pihak-pihak.[1]
Dari uraian dan pandangan diatas maka penegakan hukum dan keadilan inilah yang menjadi dasar filosofi dari kemandirian hakim ini. Mengingat dasar filosofi untuk menegakkan hukum dan keadilan inilah, maka kepada hakim perlu diberi kebebasan dari pengaruh kekuasaan ektra judisial dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan kekuaaan kehakiman. Akan tetapi kebebasan itu harus disadari hanya merupakan kebebasan yang diberikan undang-undang atau hukum (legal right) bukan kebebasan yang bersifat alami (natural right). Oleh karena itu Ketua Mahkamah Agung dalam keynote speech mengatakan, bahwa kebebasan hakim itu hanya terbatas pada:
  1. 1.Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya.
  2. 2.Bebas dari paksaan siapapun,
  3. 3.Bebas dari direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ektra yudisial.[2]
Sebagai landasan filosofi dari kebebasan hakim, keadilan itu sendiri mempunyai makna yang begitu kaya, sehingga selalu menimbulkan perbedaan dan petentangan dalam menafsirkannya. Walaupun demikian kiranya diusahakan suatu pemahaman yang pokok dan mendasar sehingga dapat disepakati oleh banyak pihak bahwa keadilan itu menjadi tujuan yang hendak dicapai dari kemandirian hakim dalam melaksanakan persidangan.
Plato menegaskan bahwa makna pokok dari keadilan adalah kemampuan memperlakukan setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing.[3] Pemahaman ini diteruskan sepanjang sejarah kebudayaan Barat melalui Aristoteles, Cicero, Agustinus dan terutama oleh sistem hukum Romawi yang masih punya pengaruh kuat sampai dewasa ini. Meskipun pemahaman keadilan cukup singkat dan jelas tetapi dalam pelaksanaannya sering timbul kesukaran praktis, karena masih dipertanyakan sejauh mana hak orang itu. Manakah hak orang itu dan dari mana datangnya hak itu. Tanpa memberikan kejelasan seperti itu tindakan yang dimaksudkan sebagai pemberian keadilan, ternyata malah merupakan ketidak adilan.
Oleh karenanya kemudian dikatakan keutamaan keadilan terwujud pada tindakan-tindakan kepada orang lain, yakni orang yang memiliki hak atas perlakuan itu. Hal itu antara lain ditegaskan oleh Thomas Aquinas dengan rumusan “keadilan adalah untuk orang lain”.[4] Perlakuan yang adil dilaksanakan bukan karena kasih sayang, hubungan perasaudaraan atau perasahabatan dan sebagainya, melainkan kerena pengakuan atas hak orang lain.
Pengertian keadilan ini pada perode akhir-akhir ini banyak ditinjau dari berbagai sudut pandang. Ada yang melihat dari segi keadilan legal (legal justice) yaitu keadilan yang sesuai dengan hukum. Pandangan ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan keadilan hukum negara dalam bentuk formal. Akan tetapi adil tidaknya suatu peraturan perundang-undangan atau putusan hakim sangat pula ditentukan oleh representasi keadilan moral (moral justice) dan keadilan sosial (social justice), sebagai dua sudut pandang yang lain melihat keadilan itu sendiri.
Keadilan moral (moral justice) tidak lain dari keadilan yang berdasarkan moralitas yang berbicara tentang baik dan buruk. Moralitas berasal dari berbagai sumber, yang terpenting disini adalah agama. Agamalah yang menetapkan tentang norma-norma baik dan buruk, benar dan salah, adil dan tidak adil. Perundang-undangan Indonesia sangat mendukung keadilan hukum yang berdasarkan keadilan moral agama. Ini terlihat secara umum dari pasal 2 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan: Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Setiap putusan hakim harus memuat kata-kata tersebut sebagai kepala putusannya. Putusan hakim yang tidak memuat kata-kata tersebut diatas diancam batal demi hukum.
Keadilan sosial (social justice) adalah menjadi salah satu dasar negara, sebagai sila kelima dari Pancasila yang berbunyi: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa selain melindungi segenap bangsa dan tanah air Indonesia, Pemerintah Indonesia juga ingin berpartisipasi melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ada pula pendapat yang mengelompokkan keadilan legal (legal justice) kedalam dua kategori yaitu aspek substanstif dan prosedural. Pendapat ini dikemukakan oleh Majid Khadduri sebagai berikut:
Syariat tidak memberikan ukuran khusus untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan yang adil dan zalim. Oleh karena itu ia berpindah kepada pakar-pakar (mujtahid) untuk mengindikasikan prinsip-prinsip pokok dari keadilan yang berfungsi sebagai garis-garis pedoman untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan yang adil dan zalim. Walaupun prinsip-prinsip ini tidak dibawa bersama dan dikorelasikan kedalam suatu teori koheren tentang keadilan legal, tetapi mereka boleh dikelompokkan kedalam dua kategori, masing-masing meliputi suatu aspek dari keadilan yang berbeda. Aspek-aspek ini boleh kita namakan aspek substantif dan prosedural, dan makna keadilan dalam setiap aspek bervariasi dari satu hingga lainnya.[5]
Selanjutnya Majid Khadduri mengatakan, bahwa keadilan substantif merupakan suatu aspek internal dari suatu hukum dan elemen-elemen keadilan yang terkandung dalam suatu hukum merupakan deklarasi tentang kebenaran-kebenaran dan kesalahan-kesalahan. Dalam kosa kata Islam, ini kita namakan halal dan haram (al-halal wa al-haram) dan membentuk beberapa kaidah umum dan khusus dalam Syariat Islam (Islamic corpus juris).[6] Sedangkan keadilan prosedural adalah aspek eksternal dari syariat yang berdasar atasnya, keadilan substantif dicapai. Aspek keadilan ini yang sering disebut keadilan formal, dimanifestasikan pada tingkatan regularitas, ketelitian dan netral dalam penerapan (aplikasi) Syariat.[7]
Berkaitan dengan pengelompokan keadilan legal di atas, maka putusan Pengadilan yang diambil hakim secara normatif mengandung dua aspek yaitu prosedural justice dan substantive justice. Dalam kaitan ini Mudzakkir mengatakan bahwa prosedural justice hubungannya dengan hukum acara dan hukum pembuktian, sedangkan subtantive justice berkaitan dengan diktum putusan atau pemidanaan (dalam perkara pidana).[8] Hukum acara dan hukum pembuktian bersifat obyektif dengan parameter aturan hukum acara dan hukum pembuktian yang konkrit dengan standar yang tegas. Proses pembuktian ini biasanya memerlukan ilmu pengetahuan yang obyektif dan oleh karenanya, hasil proses pembuktian dapat diuji secara ilmiyah (obyektif) oleh siapa saja. Sedangkan untuk substantive justice tidak memiliki ukuran yang seobyektif procedural justice, karena suatu diktum atau amar putusan adalah suatu kesimpulan dari kegiatan penafsiran terhadap kaedah hukum (in abstrakto) yang dilakukan oleh hakim terhadap fakta-fakta hukum yang telah diuji di Pengadilan (in concretto).
Penafsiran terhadap kaedah hukum ditujukan untuk mencapai tujuan hukum yaitu terciptanya keadilan dalam masyarakat. Tuntutan keadilan yang diajukan masyarakat agar penerapan hukum sesuai dengan apa yang dianggap adil oleh masyarakat dalam setiap kasus pidana di depan hakim. Ini biasanya terkait dengan situasi konkrit dan kondisi sosial setempat. Masyarakat tidak akan menilai menurut prinsip-prinsip abstrak sebagai dirumuskan hukum, melainkan menurut apa yang dalam situasi konkrit terasa adil. Jadi tuntutan keadilan disini agar hakim mempunyai kebebasan penuh untuk memperhatikan semua unsur konkrit dalam kasus yang dihadapi.
Dilain pihak kepastian hukum selalu menuntut agar hukum dirumuskan secara sempit dan ketat agar tidak terjadi kekaburan sedikitpun. Akan tetapi semakin sempit dan terperinci perumusan hukum, maka hakim itu makin kaku dan makin sempit pula ruang kebebasannya. Sehingga mungkin saja suatu putusan hakim sesuai dengan norma-norma hukum, tapi tidak sesuai dengan keadilan menurut pandangan masyarakat. Dalam kondisi dan situasi demikian hakim hendaklah membebaskan diri pengaruh tekanan baik yang datang dari pemerintah, maupun pejabat pembuat undang - undang serta pada rasa keadilan yang dirumuskan waktu itu, yaitu apa yang dirasakan adil menurut perasaan keadilan hakim itu sendiri.
Tahapan dan Proses Persidangan
Sebelum Pengadilan/Hakim sampai kepada pengambilan putusan dalam setiap perkara pidana yang ditanganinya, terlebih dahulu melalui proses pemeriksaan persidangan yang merupakan tahap-tahap dalam pemeriksaan itu. Tanpa melalalui proses pemeriksaan persidangan ini hakim tidak akan dapat mengambil putusan dalam perkara pidana yang ditanganinya, karena hanya dengan melalui proses inilah akan didapatkan peristiwa konkrit yang dilakukan terdakwa. Melalui proses persidangan ini pula semua pihak, baik jaksa penuntut umum maupun terdakwa / penasehat hukum diberi kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapatnya serta menilai hasil pemeriksaan persidangan menurut perspektifnya masing-masing. Pada akhir dari proses pemeriksaan persidangan hakim akan mengambil putusan. Proses persidangan ini merupakan salah satu aspek yuridis formil yang harus dilakukan hakim untuk dapat mengambil putusan dalam perkara pidana.
Proses pemeriksaan persidangan perkara pidana di Pengadilan yang dilakukan oleh hakim secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disingkat dengan sebutan KUHAP ( Undang-undang No. 8 tahun 1981 ) dan beberapa peraturan pelaksanaan lainnya, seperti PP No. 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP dan Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M.06.UM.01.06 tahun 1983 tentang Tata Tertip dan Tata Ruang Sidang. Disamping itu dalam praktek seringkali pelaksanaan tahap-tahap dan tata cara persidangan disesuaikan dengan keadaan berdasarkan kebijakan hakim / ketua majelis hakim atau atas kesepakatan antara pihak-pihak yang terkait dalam pemeriksaan perkara pidana, sejauh tidak menyimpang dari asas dan tujuan pemeriksaan perkara pidana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar